Thursday, April 26, 2012

Asran Salam Berbicara pendidikan tentunya kita tidak akan pernah lepas dari pembicaraan tentang manusia karena objek sekaligus subjek ...

Pendidikan, Sarana Mengasah Spiritual Anak

No comments:
 

Asran Salam

Berbicara pendidikan tentunya kita tidak akan pernah lepas dari pembicaraan tentang manusia karena objek sekaligus subjek dari pendidikan adalah manusia. Pendidikan adalah sebuah proses untuk menjadikan manusia dapat mengaktualkkan nilai kemanusiaanya yang merupakan dimensi dalam kediriannya sebagai manusia.
Dunia pendidikan tentunya sangat luas namun kali ini uraian penulis terfokus pada institusi pendidikan yakni sekolah serta dengan menyorot proses belajar mengajar didalamnya dalam mengasah spiritual manusia (anak didik/siswa). Apakah proses belajar-mengajar selama sudah mengasah anak didik untuk mengembangkan nilai spiritualnya?.
Dunia persekolahan sekarang Kata YB Mangunwijaya dalam buku Pasca Indonesia, Pasca-Einstein (1999), tidak mengajar anak didik untuk berpikir eksploratif dan kreatif. Seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah penghafalan, tanpa pengertian yang memadai. Adapun bertanya-apalagi berpikir kritis-praktis-adalah tabu. Siswa tidak dididik tetapi di-drill, dilatih, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh berbeda dari pelatihan binatang-binatang "pintar dan terampil" dalam sirkus.
Suasana pembelajaran yang "salah urus" semacam itu, demikian Mangunwijaya, telah membuat cakrawala berpikir peserta didik menyempit dan mengarah kepada sikap-sikap fasisme, bahkan menyuburkan mental penyamun, perompak, penggusur yang menghambat kemajuan bangsa. Kaitannya dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Sebuah fakta menunjukkan efek mental dilahirkkan dari proses pembelajaran seperti ini yakni mental pembual, berbohong, dan bertopeng seolah-olah semakin meracuni kehidupan kultural bangsa. Kemunafikan merajalela. Kejujuran dan kewajaran dikalahkan. Keserasian antara yang dikatakan dan yang dikerjakan semakin timpang.
Sikap seperti ini yang menafikan keluhuran akal budi, bahkan makin menjauhkan diri dari perilaku hidup yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, tampaknya sudah menjadi fenomena yang mewabah dalam masyarakat kita. Maraknya fenomena dan perilaku anomali semacam itu, menurut penulis, merupakan imbas dari sistem pendidikan yang telah gagal dalam membangun generasi yang utuh dan paripurna.
Selama menuntut ilmu di bangku pendidikan, pelajar yang baik senantiasa dicitrakan sebagai "anak mami" yang selalu mengamini semua komando gurunya. Kondisi seperi ini disebut banking of education dalam istilah Paulo Friere, di mana anak didik atau pelajar dituntut untuk memematuhi semua perintah dari guru sehingga anak didik tidak memiliki ruang kebebasan menyampaikan gagasan dan kemaunya sendiri. Mereka ditabukan untuk bersikap kritis, berdebat, dan bercurah pikir. Akibatnya, mereka tampak begitu santun di sekolah, tetapi menjadi liar dan beringas di luar tembok sekolah.
Pendidikan yang bergaya ala bank tersebut atau banking of education, menurut Paulo Friere hanya akan melahirkan kesadaran naïf bahkan magis yakni kesadaran yang kecenderungan untuk menyalahkan dirinya serta menerima segala apa yang terjadi sebagai sebuah takdir yang tidak bisa diubah. Anak didik atau pelajar akan tampil sebagai seorang yang fatalis dan apatis terhadap kondisinya.
Sekarang ini anak-anak yang tengah gencar memburu ilmu di bangku pendidikan, disisi lain (hampir) tidak pernah dididik secara serius dalam menumbuhkembangkan ranah emosional dan spiritualnya. Ranah kecerdasan spiritual yang amat penting peranannya dalam melahirkan generasi yang utuh dan paripurna justru dalam kenyataanya dikebiri dan dimarjinalkan.
Selama ini penilaian untuk mengukur kecerdasan anak didik (pelajar) masih terjebak pada sebuah penilaian pada ranah koqnitif saja namun tidak pernah menjadikan salah satu penilaian ketika anak didik atau pelajar memiliki kepekaan atau kepeduliaan terhadap sesamanya baik dalam lingkungan sekolahnya maupun masyarakatnya. Pada hal keadaan seperti ini perlu didorong dalam diri pelajar sebagai bagian dari pencerahan spiritual. Penafian semacam ini dalam penilaian tentunya sangat terkait dengan kebijakan dan kurikulum pendidikan kita belum memberikan ruang dan waktu yang cukup berarti untuk memberikan penilaian pada sikap pelajar yang memiliki kepedulian atau kepekaan.
Idealnya, pendidikan harus mampu memberikan proses pencerahan dan katarsis spiritual kepada peserta didik. Katarsis spiritual yang dimaksud adalah memiliki apresiasi tinggi terhadap masalah kemanusiaan, kejujuran, keadilan, demokratisasi, toleransi, dan kedamaian hidup , sehingga mereka mampu bersikap responsif terhadap segala persoalan yang tengah dihadapi masyarakat dan bangsanya.
Melalui pencerahan yang berhasil ditimbanya, me-reka diharapkan dapat menjadi sosok spiritual yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian, yang menawarkan pengampunan bila terjadi penghinaan atau setidaknya dapat melahirkan manusia yang merasa malu ketika melakukan kesalahan atau keburukan seperti korupsi yang kita ketahui bersama mewabah di negeri ini.
Anak yang memiliki kecerdasan spiritual dalam hal ini apresiasi yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan mewujudkan diri dalam perikehidupan yang diliputi dengan kesadaran penuh, perilaku yang berpedomankan hati nurani, penampilan yang genuine tanpa kepalsuan, kepedulian besar akan tegaknya etika sosial. Namun sebaliknya bila anak tidak memiliki kecerdasan spiritual menunjukkan diri dalam ekspresi eksklusif, dan intoleran serta acuh tak acuh terhadap problem masyarakat dan bangsanya bahkan yang sering terjadi belakangan ini sering kita saksikan adalah konflik atau tawuran antara pelajar, seks bebas, dan pecandu obat-obat terlarang.
Dengan adanya berbagai fakta terkait kondisi pelajar yang masih jauh mencerminkan sebagai anak terdidik, pendidikan kita harus bersikap antisipatif dengan memberikan sentuhan perhatian yang cukup berarti terhadap ranah spiritual siswa. Kurikulum dan kebijakan pendidikan harus benar-benar mengakomodasi ranah spiritual siswa secara proporsional dan substansial.
Mata pelajaran yang terkait dengan pembangunan spiritual anak, selain ditambah alokasi waktunya, hendaknya juga tidak sekadar mencekoki siswa dengan setumpuk teori dan hafalan, tetapi harus benar-benar menyentuh kedalaman dan hakikat spiritual yang membuka ruang kesadaran nurani di tengah konteks kehidupan sosial-budaya yang majemuk. Hal itu harus didukung oleh semua guru lintas mata pelajaran dengan mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan ke dalam materi ajar.
Selama ini guru yang berada di garda depan dalam dunia pendidikan masih sering menimbulkan sesuatu di luar dari kewajaran sebagai seorang guru. Kekerasan terhadap anak didik atau pelajar masih sering terjadi baik itu kekerasan dalam bentuk fisik maupun psikis. Seorang guru hendaknya mampu menjadi figur keteladanan spiritual di hadapan peserta didik. Guru hendaknya juga mampu "menanggalkan" jiwa yang kasar dalam mendidik. Sikap pendidik harus demokratis,  lebih mawas diri, yang otomatis akan menular ke jiwa anak didik.
Di tengah situasi Indonesia yang makin terpuruk akibat krisis multiwajah, sudah saatnya dunia pendidikan benar-benar mengambil peran sebagai pencerah dan katarsis peradaban yang sakit. Kehadirannya harus benar-benar dimaknai secara substansial  yang menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi yang utuh dan paripurna; cerdas intelektualnya, cerdas emosionalnya, sekaligus cerdas spiritualnya. Bukan hanya sekadar pelengkap yang selalu disanjung-puji sebagai pengembang SDM, tetapi realitasnya hanya menjadi sebuah "Indonesia" yang terpinggirkan.
Pendidikan yang melahirkan SDM yang mempuni dengan kwalitas kemanusiaan yang dimiliki oleh anak didik atau pelajar  tentunya kita dapat berharap membawa bangsa ini mampu untuk bersaing dengan bangsa yang lain. Dalam menumbuhkan SDM tersebut membutuhkan energi yang besar dari semua elemen pendidikan termasuk pemerintah sebagai penentu kebijakan.
Pemerintah sebagai penentu kebijakan diharapkan untuk tetap konsisten dalam memperbaiki dunia pendidikan. Anggaran pendidikan yang 20% diluar dari gajih guru dan dosen sebagai amanah konstitusi agar benar-benar direalisasikan yang hingga sekarang ini masih mengikludkan gaji guru dan dosen dalam anggaran 20% tesebut*.

No comments:

Post a Comment