Oleh: Asran Salam
Pada belahan
dunia yang jauh dari Indonesia tepatnya pada benua Amerika bagian selatan,
Bolivia sebuah Negara yang sebelumnya terpuruk dengan banyaknya kemiskinan
hingga mencapai 70% yang melandah
rakyatnya, asset-aset Negara banyak dikuasai oleh pihak asing, namun kondisi
itu melangami perubahan besar sejak terpilihnya seorang persiden baru dengan
kebijakanya yang pro rakyat.
Evo Morales
terpilih menjadi persiden Bolivia tepatnya pada tanggal 22 desember 2006 dengan partai MAS-nya (Partai
Gerakan Menuju Sosialis) yang pimpinya, yang sebelumnya menempati ururtan
ke-dua pada pemilu tahun 2002. Dalam menuju tangga menjadi persiden Bolivia Evo
Morales melewati proses politik yang panjang di mana sebelumnya dia juga
merupakan anggota parlemen (DPR) Bolivia .
Terpilihnya Evo
Morales menjadi Persiden membawa angin segar bagi rakyat Bolivia . Kebijakannya yang sangat
memihak kepada rakyat bawah membuatnya disenangi dan dicintai oleh rakyatnya.
Merealisasikan pendidikan serta kesehatan gratis merupakan bagian dari
kebijakannya yang sangat populis. Kebijakan ini disambut gembira oleh rakyatnya
karena selama berpuluh-puluh tahun mereka sangat susah mengakses pendidikan dan
kesehatan.
Selain itu untuk mengangkat kesejahteraan petani, Evo Morales mengeluarkan kebijakan Land Reform dengan menyerahkan seperlima lahan Negara kepada petani-petani miskin. Kebijakan ini sempat ditentang oleh golongan tertentu hal ini terkait karena lahan pertanian banyak dikuasai oleh orang-orang kaya. Namun Evo Morales tetap pada pendirianya, baginya kebijakan ini untuk menolong mereka yang hidupnya sangat miskin.
Kebijakan Land Refom adalah upaya yang dilakukan
Evo Morales agar terwujudnya keadilan sosial di Bolivia . Baginya jangan sampai
segelintir orang kaya menguasai banyak lahan sedangkan sebagaian besar orang
miskin hanya menguasai sedikit lahan.
Nasionalisasi
asset-aset Negara yang selama ini di kuasai oleh asing merupakan salah satu
kebijakan yang sangat revolusioner dikeluarkanya sebagai Persiden, walaupun
kebijakan ini mengandung resiko yang sangat besar baginya karena harus
berhadapan dengan Negara adi daya Amerika. Amerika yang banyak menguasai asset
di Bolivia
tentunya akan tersingkir dengan kebijakan tersebut.
Sebagai seorang
Persiden yang betul-betul berjuang untuk rakyatnya. Morales mengeluarkan
kebijakan spektakuler dengan memotong gajinya. Dia memangkas separuh gaji yang
diperolehnya menjadi 18 juta perbulan untuk kemudian di alokasikan pada program
sosial terutama bidang pendidikan dan kesehatan.
Kebijakan pemotongan gaji yang dilakukannya
atas dasar kepedulian sosial terhadap penduduk Bolivia yang rata-rata memiliki
penghasiilan rendah. Alasan lain dari
kebijakan ini yakni langkah penghematan anggaran Negara. Tindakan Morales
dengan pemotongan gaji, merupakan tindakan yang sangat mencirikan sosok
pemimpin altruis yang jiwa serta raganya di pertaruhkan untuk Negara dan
rakyatnya.
Kekuasan bagi
morales adalah sebuah kesempatan untuk mebawa rakyatnya menatap masa depan yang
cerah. Rakyat harus meninggalkan keterpurukan dan bangkit serta berdiri untuk
menatap dunia dengan “kaki” bangsa sendiri, tanpa bantuan atau mengemis pada
Negara lain.
Setelah mengurai
gaya kepemimpinan Evo Morales yang pro rakyat,
kini mari kita menelisik gaya
kepemipinan Persiden kita. Apakah kebijakannya benar-benar pro rakyat? Apakah
janji politiknya benar-benar terealisasi? Apakah Negara ini sudah beranjak dari
keterpurukanya?. Indonesia
memang bukan Bolivia ,
namun élan positif Evo Morales melalui serangkaian kebijakan yang pro terhadap
rakyat setidaknya bisa menjadi pelajaran untuk membandingkan dengan Persiden di
Negara kita ini.
Persiden SBY, sebagaimana
kita ketahui bersama bahwa terpilih menjadi pemimpin tepatnya pada tahun 2004, ini
merupakan periode pertamanya. Pada periode pertama tersebut beberapa kebijakan
yang tidak pro rakyat dilakukannya salah satunya adalah menaikkan BBM. Kenaikan
BBM tersebut tentunya sangat menyensarakan rakyat miskin.
Dalam menutupi
dampak kebijakan tersebut, SBY mengeluarkan kebijakan dengan memberikan bantuan
langsung kepada rakyat miskin yang nomilnya sekitar 300 ribu rupiah pertiga
bulan. Kebijakan tersebut bagi SBY adalah salah solusi untuk mengurangi
kemiskinan. Solusi tersebut pada dasarnya tidak terlalu berpengaruh baik bahkan
sebaliknya dampaknya sangat buruk untuk rakyat. Kebijakan ini pun terhenti pada
periode selanjutnya.
Pada periode pertama sebagai persiden, SBY tidak melakukan perubahan besar
dinegeri ini. Pendidikan masih susah di akses bagi orang-orang yang tidak
memiliki modal (Uang). Kesehatan masih tersandung dengan birokratisasi yang
berbelit-belit. Kebijakan kepada para petani pun belum menjadi bagian dari
prioritas.
Persiden SBY
terpilih pada pemilu berikutnya tepatnya
tahun 2009. SBY pada periode kedua ini berjanji akan meciptakan sistem politik
pemerintahan yang bersih, santun dan beretika. Janji-janji politik ini,
sepertinya hanya menjadi retorika belaka karena konsistensi SBY dengan
pemerintahan yang bersih, santun dan bertika tidak terwujud.
Presiden
SBY pada awal-awal pemerintahanya di periode kedua pernah mencanangkan program
100 hari untuk swasembada pangan. Namun pada awal tahun 2011 kesulitan ekonomi
justru terjadi secara masif. SBY mendorong terobosan ketahanan pangan dan
energi berupa pengembangan varietas Supertoy HL-2 dan program Blue Energi.
Program ini mengalami gagal total.
Kemiskinan
di negeri ini pun tidak kunjung terselesaikan, walaupun pemerintah
mengklaim bahwa ada pengurangan kemiskinan yang mencapai 31,02 juta jiwa. Namun
fakta lain menunjukkan bahwa dari penerimaan beras rakyat miskin tahun 2010
mencapai 70 juta jiwa dan penerima layanan kesehatan bagi orang miskin
(Jamkesmas) mencapai 76,4 juta jiwa.
Kasus korupsi Gayus Tambunan,
Century, rekenin gendut para perwira tinggi kepolisian hinga sekarang ini belum
juga terusut sampai keakar-akarnya. Bahkan SBY berkali-kali menjanjikan sebagai pemimpin pemberantasan korupsi
terdepan. Faktanya, riset ICW menunjukkan bahwa dukungan pemberantasan korupsi
oleh Presiden dalam kurun September 2009 hingga September 2010, hanya 24% yang
mengalami keberhasilan.
Jika Morales mengeluarkan kebijakan
revolusioner, menasionalisasi
asset-aset Negaranya yang di kuasai oleh asing maka, Persiden SBY bahkan
tidak memiliki keberanian untuk
renegosiasi beberapa asset Negara kita yang dikuasai oleh pihak asing. Walaupun
tim audit yang telah dibentuk untuk upaya renegosiasi namun tidak ditindak
lanjuti.
Kebijakan SBY terkait dengan dunia
pendidikan pun masih jauh dari harapan. Jangan untuk pendidikan gratis
perealisasian UU Sistem Pendidikan Nasional menuliskan bahwa anggaran
pendidikan harus mencapai 20% dari alokasi APBN. Alokasi ini harus dari luar
gaji guru dan dosen. Hingga kini anggaran gaji guru dan dosen masih termasuk
dalam alokasi 20% APBN tersebut.
Bila Morales berani berani mengabil
sikap pribadi untuk memotong gaji yang diperolehnya untuk kepentingan
rakyatnya, maka persiden SBY malah sebaliknya
gaji yang selama ini diterima dianggap tidak cukup, dengan itu Persiden
SBY meminta kenaikan gaji. Permintaan kenaikan gaji tidaklah mencirikan
pemimpin yang memiliki kepedulian terdhadap rakyatnya yang masih banyak berada
garis kemiskinan.
Evo Morales
dengan kebijakan pendidikan dan kesehatan gratis, pembagian lahan kepada petani
serta sikap pribadi untuk memotong gaji yang diperolehnya sebagai persiden
untuk kepentingan rakyatnya, tentunya dapat kita nilai sangat jauh dengan apa
yang dilakukan oleh SBY. Morales mencurakhan seluruh aktivitas politiknya untuk
rakyatnya akan tetapi persiden SBY, gerakan politik yang dilakukan hanya ingin
mendapatkan citra (Politik Pencintraan) dari masyarakat.
Morales dan SBY,
sebuah perbandingan pemimpin Negara antara Bolivia dan Indonesia bisa menjadi
pelajaran buat kita sehingga dengan demikian kita dapat menilai apakah pemimpin
kita benar-benar perjuang untuk rakyat atau malah sebaliknya, menjadikan rakyat
hanya untuk di “jual”.*
No comments:
Post a Comment