Oleh:
Asran Salam
“Tidak beriman
seseorang sehingga aku lebih ia cintai ketimbang dirinya sendiri”
(Hadis
Nabi)
Andaikata engkau
ingin selamat dari api neraka
Beshalawat kepadaya
dengan pedih (rindu) dan cinta
(Annemarie
Schimmel)
Di sebuah majelis Rasulullah SAW bersama
sahabat-sahabatnya sedang berkumpul, tiba-tiba Rasulullah SAW bertutur “rindu
saudara-saudara, ummat akhir zaman”. “Apa maksudmu berkata demikian wahai ya
Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?” Abu Bakar bertanya melepaskan
gumpalan teka-teki yang menyelumuti pikirannya. Mendengar pertanyaan Abu Bakar
tersebut, kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan suara merendah; “Tidak, Wahai
Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabat tetapi bukan saudara-saudara”. “Kami
juga saudara-saaudaramu wahai Rasulullah” kata seorang sahabat yang lain.
Mendengar itu Rasulullah SAW menggeleng-gelengkan kepalanya berlahan-lahan
sambil tersenyum. Kemudian melanjutkan; “Saudara ialah mereka yang belum
melihatku mereka beriman denganku sebagai Rasul Allah dan mereka sangat
mencintaiku. Malahan kecintaan mereka kepadaku melebihi cinta mereka kepada
anak-anak dan orang tua mereka”.
Kisah ini di atas diabdikan oleh Ibnu
Abbas, pada kisah ini setidaknya kita menemukan perhatian atau kepedulian
Rasulullah SAW yang dalam terhadap ummatnya. Kepedulian layaknya air yang tiada
henti mengalir. Begitu banyak kisah yang menujukkan perhatian selain kisah di atas.
Misalkan pada sebuah moment majelis, Rasulullah ingin bercerita perihal iman
dengan memulai bertanya kepada sahabat-sahabat yang hadir kala itu. “Siapakah
yang paling ajaib imannya” Tanya Rasulullah. “Malaikat” Jawab Sahabat.
“Bagaimana para malaikat tidak beriman kepada Allah sedangkan mereka senantiasa
dekat dengan Allah” Jelas Rasulullah.
Mendengar penjelasan Rasulullah tersebut
para sahabat lalu terdiam seketika. Lalu mereka menjawab lagi “Para nabi
tentunya” mendengar jawaban dari sahabat tersebut, lalu Rasulullah kembali
bertutur “Bagaimana Nabi tidak beriman sedangkan wahyu diturungkan kepadanya”
lalu “mungkin kami” cetus seorang sahabat. “Bagaimana mungkin sahabat tidak
beriman sedangkan mereka bersamaku” Rasulullah menimpali. “Kalau begitu, hanya
Allah dan Rasul-Nya saja yang lebih mengetahui” jawab seorang sahabat lagi,
dengan mengakui kelemahan mereka tidak mampu menjawab pertanyaan dari
Rasulullah tersebut.
“Kalau kalian ingin tahu siapa mereka,
mereka ialah ummatku yang hidup selepasku. Mereka membaca al-Quran dan beriman
dengan semua isinya. Berbahagialah oranglah yang dapat berjumpa dan beriman
denganku (para sahabat) dan tujuh kali lebih berbahagia orang yang beriman
denganku meskipun tidak pernah hidup di masaku, tapi mencintaiku dan ini
berjumpa denganku” Jelas Rasulullah. Setelah memaparkan, Rasulullah membisu,
kemudian berucap yang berbaur kesayuan; kesedihan, keibahan hati yang
mengharukan “Aku sungguh rindu bertemu dengan mereka”
Kisah selanjutnya yang bisa menjadi renungan bahwa Rasulullah begitu sangat mencintai ummatnya. Yakni pada suatu hari, disaat langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayapnya. Ketika malaikat maut sedang mengetuk pintu rumah Rasulullah. Kala itu adalah moment-moment akhir hidup Rasulullah. Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutup tangan di wajahnya, dan Ali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan, tak lama itu dari bibir Rasulullah terucap; “Ummati, Ummati, Ummati” Dan, setelah itu pupuslah kembang hidup manusia agung nan mulia itu.
Membaca beberapa kisah diatas, kita akan
menemukan sebuah keberuntungan yang tiada tara untuk ummat yang hidup jauh dari
zaman Rasulullah SAW. Bahwa Rasulullah sangat merindukannya. Pada kisah di atas
kita akan menjumpai sebuah “uluran tangan” dari Rasulullah dalam bentuk kasih
yang tak terputus dan berhenti kepada ummatnya, walau waktu, ruang serta zaman
yang begitu jauh darinya.
Kepedulian Rasulullah adalah kepedulian
yang tak bertepi dan berujung. Kecintaanya terhadap ummatanya melebihi segala
yang ada pada dunia ini. Kita semua tahu, bahwa Rasulullah hidup tak sedikitpun
ruang untuk dirinya akan tetapi semuanya untuk Islam dan ummatnya. Cacian,
makian serta penghianatan yang ia terima, tak pernah membuatnya surut untuk
memperjuangkan Islam dan ummatnya.
Mungkin kita semua mahfun bahwa janggut
Rasulullah menjelang akhir hayatnya dibasahai air mata karena memikirkan derita
ummat sepeningalnya. Ia merebahkan dirinya di atas tanah dan mengangkatnya
sebelum Allah mengizinkan untuk memberikan syafaat kepada ummatnya. Begitu
besar cinta Rasul kepada ummatnya. Begitu dalam kasih sayannya kepada kita
semua. Abu Dzar bercerita bahwa Nabi SAW, bangun malam dan mendirikan shalat.
Beliau terus-menerus membaca satu ayat “Jika
engkau mengazab mereka, mereka adalah hamba-hamba-Mu. Jika engkau ampuni mereka.
Engkau sungguh maha perkasa dan maha bijaksana”(al-Maidah:118).
Dalam kasih Rasulullah yang teduh semuanya
mengalir kepada ummatnya. Rindu dan kasih Rasul seperti ia mengisi ronga-rongga
ummatnya yang dahaga. Layaknya membasahi tanah-tanah yang tandus nan kering.
Tapi semua rindu dan kasihnya itu dapat kita jumpai, bisa kita rasakan jikalau
kita selaku ummatnya mencintainya melebihi kecintaannya kepada siapa-pun walau
kita tak pernah bersua dengannya. Lalu apakah bentuk kecintaan kita kepada
Rasulullah SAW? Kecintaan yang bisa membawa kita sebagai orang-orang dirindu
dan dikasihi oleh Rasulullah?
No comments:
Post a Comment