Monday, December 28, 2015

Sampul Buku Oleh Asran Salam Manusia menciptakan berhala-berhala baru Ketika ia bosan dengan berhala-berhala lama Biar ma...

Pergulatan Hidup dalam Narasi Cinta dan Kemanusiaan

No comments:
 

Sampul Buku


Oleh Asran Salam

Manusia menciptakan berhala-berhala baru
Ketika ia bosan dengan berhala-berhala lama
Biar mahkota raja dicampakkan oleh rakyat jelata
Orang-orang tua yang sama kan terus berjuang
Ketamakan tak pernah mati dalam hati manusia
Api yang sama tetap menyalah di perapian lama

_Muhammad Iqbal (1873-1938)_

Pada hidup tak sedikit kita temukan kegetiran yang menghadirkan kegalauan yang sangat. Kegetiran itu bisa berupa kekeringan akan makna hidup yang subtil. Bisa berupa ketaksadaran pada eksistensi diri. Hal itu, karena dalam hidup memberikan ruang yang lebar pada materi untuk menjadi “Tuhan”. Kita mungkin banyak mengalami itu dalam dunia yang modern saat ini. Selai itu, tak sedikit pula kita melarikan diri dengan melupakannya dalam bentuk menyibukkan diri dalam keseharian. Kita menjalani hidup tak lebih seperti kata Heidegger, we have seen people busy sharpning their knife when there is nothing left to cut.

Semua tentang hidup yang  getir itu, pun terkadang kita anggap sebagai suatu yang biasa-biasa saja dan tak perlu untuk mempersoalkanya. Albert Camus, seorang eksistensialis punya rekaman tentang  kegetiran hidup itu. Baginya, bahwa hidup memang adalah sebuah lakon yang tak selesai. Manusia memang tak mampu untuk menjawab semua problem didalamnya. Menurutnya, pilihan yang tepat dalam hidup yang demikian adalah bunuh diri.

Dalam sadar kadang juga tidak, pada hidup mungkin tak sedikit nilai telah bergeser. Tuhan telah kita ganti dengan kerakusan akan materi dengan berbagai label; agama dihadirkan tak lebih mempersoalkan perut dan dibawah perut. Kuasa kita raih dengan cara apapun. Cinta kita reduksi menjadi tak suci karena telah menempatkanya tak jauh berbeda dengan pelampiasan syahwat. Pada dimensi itu, cinta telah kehilangan otentiktasnya sebagai sebuah jalan transedensi diri menuju kepada yang ada.  Hidup yang kita bangun terhadap relasi dengan sesama tak lebih karena nominal. Karena suatu kuantitas.  Di sana, tak ada ruang ketulusan untuk berbicara. Tanpa ada kualitas menjadi perekat. Intinya kemanusiaan telah mati.


Mengeja buku Narasi Cinta dan Kemanusiaan yang ditulis oleh Dion Anak Zaman. Seperti membawa kita kepada ziarah tetang pergulatan hidup. Buku yang terangkum dalam bentuk puisi, sajak dan esai-esai pendek itu. Didalamnya ada semacam interupsi dan tawaran tentang bagaimana hidup dijalani. Dalam buku ini, penulis merekam secara sederhana probelamatika hidup dan memberikan pilihan dalam menjalaninya yang tentunya berbeda dengan tawaran Albert Camus. Pada buku ini, ada hidup dengan setandang kerinduan pada nilai yang subtil.  Yang tidak meluluh dinilai melalui materi.  Yang kita mafhum dengannya itu hanya akan membawa kegetiran yang berkepanjangan.  Dion seperteinya hendak berkata bahwa Tuhan adalah tujuan yang hakiki dalam hidup. Dan, untuk sampai kesadaran itu mestilah ada pengakuan, penyesalan serta penyerahan diri yang tulus.  Semua itu, Dion bahasakan secara metaforik.    

“….Laa Ilaha Illallah, tak  ada satupun selain-Mu dan Muhammad adalah penyaksian-Mu sekaligus menjadi kekasih-Mu// Adakalnya wiridku tak melebihi untuk mendengungkan dan membaitkan dengan keras serta mendayu-dayu hingga aku hanya menangis karena telah mengingat dosa dan takut engkau akan berpaling dari hambamu ini dan tak lagi mau “menoleh” untuk melihatku….”.   (Wiridku)

“….Tuhan aku rindu, aku melayang jauh kecakrawala pijakku sendiri yang bersetubuh dengan mistik. Selalu menagih janji-Mu, aku terlalu sombong Tuhan…”
 ( Tuhan Aku Rindu) 

Pada sisi yang lain, dalam buku ini, ada pergulatan hidup terhadap narasi cinta yang dimana dia hendak bertutur bahwa; cinta bukan hanya perseolan syahwat. Tapi cinta adalah uapaya merekatkan retakan menjadi simpul yang kuat. Cinta adalah jalan mistik menemui hakikat dan meletakkan cinta kepada-Nya di atas segala-galanya. Tak bisa dipungkiri, bahwa cinta dalam kenyataaan ini telah kehilang kemanusiaanya.  Ia tak lebih sebagai senjata ampuh untuk memuluskan birahi-birahi yang tertunda. Dan Dion mengajak kita untuk merenungi kembali cinta yang semestinya dengan menulis.

“… Aku panggil kau sayang karena itu layak//sebab hadirmu tak pernah jedah memberi hikma yang terpahat di hati//Ingin aku menyatukan persepsi cinta yang terkadang diperselisihkan//Cinta bukanlah sesuatu yang melukai pada yang utuh, namun ia melengkapi pada yang kurang//Pada persepsi itu, ada untaian yang tak terucap bahwa kita pada frekuensi yang sama dalam memahaminya...” (Melebur dalam cinta). 

“…Akulah cinta, akulah kekasih, akulah sang penakluknya, maka dibatasilah aku didimensi lain, sebab aku hanya meminjamkan cinta dari-Nya, untuk kita bagi, dijaga. Apakah kau juga memahaminya seperti apa yang kupahami? cinta pada keadaan jiwa masing-masing yang menafsirkan cinta itu sendiri bahwa ia adalah kesucian yang selalu mengerakkan….”(Tafsirku; Mencintaimu dengan Sederhana).

Cinta terhadap sesama termasuk kepada lain jenis semacam cinta yang tak tuntas jika ia tak memberikan sandaran kepada kecintaan-Nya. 

“….Di sana  kutemui cinta-Nya sebab aku tak berani pada cinta-cinta yang belum tuntas selagi nafas melafaskan dengan bibir keluh untuk-Nya….”(Kujemput Cinta Dengan Senyum).

Tuhan dan cinta hanya sebagaian kecil yang dapat saya rekam dalam buku ini. Jika mengamati lebih dalam sebenarnya banyak sekali pergulatan hidup yang penulis gambarkan. Ada tentang keluarga, politik yang tak memihak, kejujuran, kesederhanaan. Yang jelasnya bahwa membaca buku ini, ada semacam semangat untuk menghidupkan kemanusiaan dalam narasi cinta yang utuh. Membuka cakrawala berpikir untuk melihat hal-hal biasa, yang sebenarnya sesuatu yang sangat penting untuk direnungi. Buku ini, ada semacam ajakan untuk kita jeda pada keseharian mekanik untuk merenung. Bukankah kata Socrates “Hidup yang tak direnungi adalah hidup yang tak layak dijalani. Karena itu, Dion melalui bukunya ini mengajak kita untuk merenungi guna mengarungi hidup layak.             

*Tulisan ini pengantar dalam Buku Narasi Cinta dan Kemanusiaan Karya Dion Anak Zaman. 

No comments:

Post a Comment