![]() |
Sampul Buku |
Oleh Asran Salam
Manusia
menciptakan berhala-berhala baru
Ketika ia
bosan dengan berhala-berhala lama
Biar mahkota
raja dicampakkan oleh rakyat jelata
Orang-orang
tua yang sama kan terus berjuang
Ketamakan tak
pernah mati dalam hati manusia
Api yang sama
tetap menyalah di perapian lama
_Muhammad
Iqbal (1873-1938)_
Pada hidup
tak sedikit kita temukan kegetiran yang menghadirkan kegalauan yang sangat.
Kegetiran itu bisa berupa kekeringan akan makna hidup yang subtil. Bisa berupa ketaksadaran pada eksistensi diri. Hal itu, karena dalam hidup memberikan ruang yang lebar pada materi untuk
menjadi “Tuhan”. Kita mungkin banyak mengalami itu dalam dunia yang modern saat
ini. Selai itu, tak sedikit pula kita melarikan
diri dengan melupakannya dalam bentuk menyibukkan diri dalam keseharian. Kita
menjalani hidup tak lebih seperti kata Heidegger, we have seen people busy sharpning their
knife when there is nothing left to cut.
Semua tentang hidup yang getir itu, pun terkadang kita anggap sebagai suatu yang
biasa-biasa saja dan tak perlu untuk mempersoalkanya.
Albert Camus, seorang eksistensialis punya rekaman tentang kegetiran hidup itu. Baginya, bahwa hidup memang adalah sebuah lakon yang tak selesai. Manusia
memang tak mampu untuk menjawab semua problem didalamnya. Menurutnya, pilihan
yang tepat dalam hidup yang demikian adalah bunuh diri.
Dalam sadar kadang juga tidak, pada hidup
mungkin tak sedikit nilai telah bergeser. Tuhan telah kita ganti dengan
kerakusan akan materi dengan berbagai label; agama dihadirkan tak lebih mempersoalkan
perut dan dibawah perut. Kuasa kita raih dengan cara apapun. Cinta kita reduksi menjadi tak suci karena telah menempatkanya tak
jauh berbeda dengan pelampiasan syahwat. Pada dimensi itu, cinta telah
kehilangan otentiktasnya sebagai sebuah jalan transedensi diri menuju kepada
yang ada. Hidup yang kita bangun
terhadap relasi dengan sesama tak lebih karena nominal. Karena suatu kuantitas. Di
sana, tak ada ruang ketulusan untuk berbicara. Tanpa ada kualitas menjadi perekat. Intinya kemanusiaan
telah mati.
Mengeja buku
Narasi Cinta dan Kemanusiaan yang ditulis oleh Dion Anak Zaman. Seperti membawa
kita kepada ziarah tetang pergulatan hidup. Buku yang terangkum dalam bentuk
puisi, sajak dan esai-esai pendek itu. Didalamnya ada semacam interupsi
dan tawaran tentang bagaimana hidup dijalani. Dalam buku
ini, penulis merekam secara sederhana probelamatika hidup dan memberikan
pilihan dalam menjalaninya yang tentunya berbeda dengan tawaran Albert Camus.
Pada buku ini, ada hidup dengan setandang kerinduan pada nilai yang subtil. Yang tidak
meluluh dinilai melalui materi. Yang kita mafhum dengannya itu hanya akan membawa kegetiran yang berkepanjangan. Dion seperteinya hendak
berkata bahwa Tuhan adalah tujuan yang hakiki dalam hidup. Dan, untuk sampai kesadaran itu
mestilah ada pengakuan, penyesalan serta penyerahan diri
yang tulus. Semua itu, Dion bahasakan secara metaforik.
“….Laa Ilaha Illallah, tak ada
satupun selain-Mu dan Muhammad adalah penyaksian-Mu sekaligus menjadi
kekasih-Mu// Adakalnya
wiridku tak melebihi untuk mendengungkan dan membaitkan dengan keras serta
mendayu-dayu hingga aku hanya menangis karena telah mengingat dosa dan takut
engkau akan berpaling dari hambamu ini dan tak lagi mau “menoleh” untuk
melihatku….”. (Wiridku)
“….Tuhan aku
rindu, aku melayang jauh kecakrawala pijakku sendiri yang bersetubuh dengan
mistik. Selalu menagih janji-Mu, aku terlalu sombong Tuhan…”
( Tuhan Aku
Rindu)
Pada sisi
yang lain, dalam buku ini, ada pergulatan hidup terhadap narasi cinta yang
dimana dia hendak bertutur bahwa; cinta bukan hanya perseolan syahwat. Tapi cinta adalah uapaya merekatkan retakan menjadi simpul yang
kuat. Cinta adalah jalan mistik menemui hakikat dan meletakkan cinta kepada-Nya
di atas segala-galanya. Tak bisa dipungkiri, bahwa cinta
dalam kenyataaan ini telah kehilang kemanusiaanya. Ia tak lebih sebagai senjata ampuh
untuk memuluskan birahi-birahi yang tertunda. Dan Dion mengajak kita untuk merenungi
kembali cinta yang semestinya dengan menulis.
“… Aku panggil kau sayang karena itu layak//sebab hadirmu tak pernah jedah memberi hikma yang terpahat di hati//Ingin aku menyatukan persepsi cinta yang terkadang diperselisihkan//Cinta bukanlah sesuatu yang melukai pada yang utuh, namun ia
melengkapi pada yang kurang//Pada persepsi
itu, ada untaian yang tak terucap bahwa kita pada frekuensi yang sama dalam
memahaminya...” (Melebur dalam cinta).
“…Akulah cinta, akulah kekasih, akulah sang penakluknya, maka
dibatasilah aku didimensi lain, sebab aku hanya meminjamkan cinta dari-Nya,
untuk kita bagi, dijaga. Apakah kau juga memahaminya seperti apa yang kupahami?
cinta pada keadaan jiwa masing-masing yang menafsirkan cinta itu sendiri bahwa
ia adalah kesucian yang selalu mengerakkan….”(Tafsirku;
Mencintaimu dengan Sederhana).
Cinta terhadap sesama termasuk kepada lain jenis semacam cinta
yang tak tuntas jika ia tak memberikan sandaran kepada kecintaan-Nya.
“….Di sana kutemui cinta-Nya sebab aku tak berani pada
cinta-cinta yang belum tuntas selagi nafas melafaskan dengan bibir keluh
untuk-Nya….”(Kujemput Cinta Dengan Senyum).
Tuhan dan cinta hanya sebagaian kecil yang dapat saya rekam dalam
buku ini. Jika mengamati lebih dalam sebenarnya banyak sekali pergulatan hidup
yang penulis gambarkan. Ada tentang keluarga, politik yang
tak memihak, kejujuran, kesederhanaan. Yang jelasnya bahwa membaca buku
ini, ada semacam semangat untuk menghidupkan kemanusiaan dalam narasi cinta
yang utuh. Membuka cakrawala berpikir untuk melihat hal-hal biasa, yang sebenarnya sesuatu yang sangat penting untuk direnungi. Buku
ini, ada semacam ajakan untuk kita jeda pada keseharian mekanik untuk merenung.
Bukankah kata Socrates “Hidup yang tak direnungi adalah hidup yang tak layak
dijalani”. Karena itu, Dion melalui bukunya ini mengajak kita untuk merenungi guna mengarungi hidup layak.
*Tulisan ini pengantar dalam Buku Narasi
Cinta dan Kemanusiaan Karya Dion Anak Zaman.
No comments:
Post a Comment