Monday, February 27, 2023

Tahun 2014, setelah pulang kampung, saya dan istri tetap berikhtiar untuk melakukan seperti apa yang kami lakukan di Kota. Menja...



Tahun 2014, setelah pulang kampung, saya dan istri tetap berikhtiar untuk melakukan seperti apa yang kami lakukan di Kota. Menjadikan rumah sebagai tempat belajar. Rumah tidak hanya sebagai ruang privat, tapi ia harus punya fungsi-fungsi sosial. Di mana orang bisa datang berdiskusi membicarakan apa saja yang bisa mengembangkan diri dan yang terpenting anak kami punya ekosistem belajar.

Akhirnya, kami buatlah teras rumah  sebagai rumah baca. Buku-buku koleksi kami dipajang di teras itu. Tapi memajang buku saja tentu tidak bisa menarik sepenuhnya orang untuk datang membaca dan diskusi. Atas dasar itu, kami buat program yang dapat memicu semuanya.

Hal lain yang saya pikirkan yakni mustahil bisa mengeksekusi semua program jika tak punya sumber daya. Saya mulai mengajak mahasiswa kenalan saya untuk terlibat jadi relawan di rumah baca. Tugas pertama mereka, menemani anak-anak SD dan SMP yang sering datang ke rumah baca untuk belajar dan bermain. Dibuatlah jadwal tetap setiap akhir pekan. Selain itu, merkeka juga mengawal program 17an, maulid dan kajian keilmuan serta kelas menulis.

Proses itu berjalan hampir setahun. Setelah itu vakum. Banyak hal menjadi alasannya. Relawan punya kesibukan lain. Urus kuliah, jadi sarjana, cari kerja jadi alasan utama dan mungkin juga jarak yang jauh dari Kota Palopo ke Luwu tempat rumah baca. Dan saya tidak bisa memaksakan mereka untuk jadi relawan secara terus menerus. Rumah baca tidak bisa memberikan apa-apa untuk masa depan mereka. Hidup ada batas di mana mereka tetap harus realistis. Saya maklum.

Bagaimanapun, saya tetap berterima kasih sebesar-sebesarnya kepada relawan angkatan pertama Rumah Baca Akkitanawa. Ada Al, Didin, Anggi, Aldo, Alam, Kuje, Dilla, Andri dan Wiwin. Nama-nama inilah yang menemani kami awal-awal rumah baca. Kini mereka sudah berpencar. Mencari nasibnya masing-masing.

***

Sejak "ditinggal" oleh relawan, saya dan istri tetap pada posisi awal. Tak bergeser sedikit pun. Apa pun itu rumah baca harus tetap jalan. Istri saya mengambil alih mengajar anak SD dan SMP dan juga sesekali SMA yang datang privat untuk menyelesaikan tugas dari sekolah. Jadilah rumah baca ramai kembali. Hidup seperti apa yang kami cita-citakan. Ditambah anak-anak semakin bersemangat karena akhir pekan kami buat Kemah Literasi. Semua anak-anak berkemah di rumah baca--lebih tepatnya menginap di rumah baca. Yang datang kemah biasanya sampai 30 anak. Rumah jadi padat nan ramai. Rumah baca jadi seru.

Tapi, keseruan itu seketika lenyap, rumah baca mulai hening, ketika pandemi datang. 2019 akhir, Covid-19 menyerang seluruh dunia termasuk Indonesia. Menyebar ke seluluh pelosok negeri. Semua jadi panik. Walau rumah baca letaknya di dusun, kami tetap takut pada pandemi ini. Selain menjaga keluarga kami, anak-anak lain pun perlu dijaga. Rumah baca kami tutup dari segala aktivitas. Dan itu cukup berlangsung lama. Hampir dua tahun.

***

Waktu Covid-19 masih menyebar, kami pikir, jika pandemi ini berakhir, sangat sulit lagi untuk memulai. Secara anak-anak sudah mulai punya dunia "lain". Sangat sulit menkosolidasikan ulang. Mengajak mereka lagi ke rumah baca. Menyasar mahasiswa untuk jadi relawan juga agak mustahil. Soalnya sudah lama mahasiswa tidak masuk kampus. Tentu sangat sulit mengajak mereka.


Ketika pandemi mulai landai, grafiknya mulai turun, dan pemerintah sudah membolehkan berkegiatan walau tetap jumlah terbatas. Saat itu, di 2021 menjelang ramadan, saya dan istri bersepakat membuat program madrasah ramadan. Program yang menyasar mahasiswa sebagai pesertanya. Konten dari acara ini seputar filsafat, agama dan sains. Program ini sebenarnya kami coba-coba saja. Ini semacam upaya untuk memulai setelah vakum lama. Kalau ada yang minat syukur, jika tidak ada juga tidak apa-apa.

Kami bukalah pendaftaran dengan kuota terbatas hanya 20 orang saja. Kemudian flayer kami sebar di media sosial. Dan tak kami sangka, peserta yang mendaftar sangat banyak. Walaupun kemudian 17 orang final ikut kegiatan (Andi, Pajrul, Yusri, Fatur, Cida, Fendi, Mono, Faisal, Ishak, Sajdah Fatur, Haris, Ody, Amri, Olgar, Rajab, Hikmawan, Ilyas) Tapi dari 17 mahasiswa ini. Dan kemudian berkerucut pada 4 orang saja yang aktif hingga sekarang. Yang lain memiliki kesibukan masing-masing.

Pada 4 orang inilah sungguh kami ingin berterima kasih tanpa menafikan yang tak lagi aktif. Dari mereka rumah baca pada akhirnya menemukan relawan baru. Mereka ini yang kemudian merangcang kegiatan baru rumah baca seperti Youth Camp Literasi, Open Recruitmen Relawan Literasi, Kemah Literasi, hingga terbaru pendampingan literasi desa.

Sungguh kami tidak tahu seperti apa membalas kebaikan mereka. Mereka benar-benar relawan. Bayangkan saja Kakak Pajrul dan Kakak Yusril yang sering menempu 2 jam lebih perjalanan dari Malangke---Luwu utara ke rumah baca--Luwu. Apalagi sekarang ini, dengan program baru rumah baca pendampingan literasi desa, setiap pekannya mereka harus mengunjungi desa yang jaraknya lebih jauh lagi dari rumah baca. Di perjalanan, mereka kadang menghadapi situasi sulit. Motor yang mereka pakai rusak seperti bannya bocor berkali-kali. Itu akibat melewati jalan bebatuan yang tajam-tajam.

Jika Anda sekarang sering menonton RBA Official, chanel Youtube rumah baca dengan program ORASI (obrolan seputar literasi) maka itu dihandel oleh Kakak Ody salah satu relawan rumah baca yang tersisa dari kegiatan madrasah ramadan. Ia sempat menjadi kepala suku rumah baca. Selain Kakak Ody, ada Kakak Haris bertugas sebagai desain grafis rumah baca. Jika Anda sering melihat publikasi bentuk flayer dan vidio rumah baca, itu buah dari tangannya. Ia benar-benar sangat membantu rumah baca dalam hal kampanye literasi.

Berkat mereka ini, akhirnya rumah baca menemukan relawan baru melalui program Sekolah Relasi (Relawan Literasi). Di angkatan pertama dan aktif hingga sekarang ada Kakak Hasrul, (sekarang kepala suku rumah baca), Kakak Shaim, Kakak Afni, dan Kakak Andri. Sedang angkatan kedua tersisa Kakak Dhea dan Kakak Enjel. Yang terbaru angkatan ketiga ada Kakak Thalib, Wansa, Agung dan Kakak Ara.

Selain mereka yang bergabung di rumah baca melaui proses pendidikan, ada juga karena kedekatan dengan saya dan istri dan juga sangat senang dengan literasi, hingga mereka sering datang bantu-bantu di rumah baca. Di posisi ini, ada Kakak Niar, Lia, Mitha, dan Kakak Momo.

Ada perasaan getir jika melihat teman-teman relawan dengan segala yang mereka punya berkorban untuk rumah baca. Padahal mereka juga secara ekonomi tak baik-baik. Di sini, kadang timbul pertanyaan kenapa bukan mereka yang mapan secara ekonomi mengambil jalan ini. Jadi relawan? Untuk satu ini, mungkin memang hanya mereka yang merasakan derita bisa mengerti dan bertindak walaupun itu kecil untuk sesamanya.

Saya tidak tahu, seperti apa saya harus berterima kasih kepada mereka. Secara materi, minimal menutupi transpor mereka pun tak pernah saya beri. Karena jika saya punya duit itu hanya cukup untuk menjalangkan program. Itu pun jika tak cukup, dengan berat hati, dengan menahan rasa malu, saya biasa menghubungi kawan-kawan untuk membantu. Cukup banyak yang merespon. Tapi, tak sedikit pula yang cuek saja.

Seharusnya memang rumah baca sudah wajib punya usaha yang bisa menopang setiap program dan relawannya. Agar rumah baca tak lagi mengandalkan bantuan. Gerakan, idealnya wajib mandiri secara ekonomi. Ide ini sebenarnya telah saya dan istri eksekusi. Kami telah membuka usaha untuk rumah baca. Dan kami sudah mencobanya tiga kali.

Pertama, kami pernah usaha, bisnis online dengan kerjasama dengan teman berujung gagal. Kedua, pernah juga mendirikan PT yang bergerak di media. Tapi tak berjalan mulus sebab adanya perbedaan pandangan. Saya memilih mundur dari perusahan tersebut. Ketiga, usaha ternak jual beli sapi, hal serupa terjadi seperti bisnis sebelumnya. Gagal. Sekarang modal pun belum kembali.

Walau usaha selalu tak berjalan mulus. Ide ini masih tersimpan di kepala. Suatu saat, mungkin kami akan menemukan usaha yang bisa menopang relawan dan program rumah baca. Amin.




















Wednesday, February 8, 2023

Saya mengalami hampir tiap hari. Sepulang dari tempat kerja di sore hari tentu melelahkan. Malam idealnya untuk istirahat. Tapi,...

Saya mengalami hampir tiap hari. Sepulang dari tempat kerja di sore hari tentu melelahkan. Malam idealnya untuk istirahat. Tapi, jika malam tiba, saya harus menunda untuk tidur. Satu lagi aktivitas yang tidak boleh saya lewatkan adalah menemani Muhammad baca buku. Inilah momen terumit bagi saya. Lelah dan ngantuk sudah menyerang, tapi tidak mau juga melewatkan menemaninya membaca. 

Biasanya, setiap malam ia sudah mengumpulkan beberapa buku cerita favoritnya. Lima sampai sepuluh buku telah dikumpul. Dan celakanya dalam kondisi lelah dan ngantuk, buku itu minta untuk dibacakan semuanya. Namun, kadang kala ia juga biasa mengalah. Setelah melalui proses negosiasi yang panjang cukup dua atau tiga buku saja dibacakannya. 

Muhammad sangat senang dibacakan buku cerita.  Saya lupa persis awalnya ia menyukai buku cerita. Tapi sepertinya karena tersedianya buku-buku cerita di perpustakaan pribadi kami--di Rumah Baca Akkitanawa (RBA). Kami memang sengaja membeli banyak buku cerita, selain untuk anak-anak yang di sekitar yang sering datang di RBA membaca yang utama tentu untuk Muhammad. 

Konon untuk mengaktifkan imajinasi anak, ia perlu banyak mendengarkan cerita. Tumbuh kembangnya imanjinasi kelak dapat membantunya ketika dewasa. Mengasah daya imajinasi anak akan memberikannya kemampuan untuk memecahkan masalah ketika dewasa.

Tak hanya memecahkan masalah, imajinasi yang tumbuh, dapat membantunya menciptakan ide baru, sudut pandang baru, dan berpikir kritis terhadap berbagai hal yang ada dalam hidupnya.

Jika imajinasi terus berkembang, hal positif lain yang miliki oleh anak adalah simpati dan empati. Ia mudah membangun perasaaan emosional dengan orang lain. 

Imajinasi bisa memberikan kesenangan untuk seseorang. Dengan mengingat masa lalu yang menyenangkan kemudian membayangkan dirinya menikmati imajinasi tersebut.

Selalu ada harapan, cerita-cerita yang Muhammad dengar mampu mengkatifkan daya imanjinasinya. Semoga saja.

2004, semenjak Riri Reza dan Mira Lesmana meliris film Gie rasa penasaranku akan "alam bebas" seperti gunung muncul. A...


2004, semenjak Riri Reza dan Mira Lesmana meliris film Gie rasa penasaranku akan "alam bebas" seperti gunung muncul. Awalnya saya bertanya-tanya, kenapa Gie dalam film Gie menyukai naik gunung. Apa sih menariknya naik gunung. Tidakkah itu buang waktu dan tenaga saja. Apa yang dirasakan di sana jika sudah mencapai puncak?

2005, setelah BEM fakultas tempat saya kuliah dibekukan oleh birokrasi kampus karena keseringan demonstrasi, sebagian kawan-kawanku mendirikan lembaga mahasiswa pendidikan pecinta alam (Madipala). Lembaga ini semacam wadah baru untuk menyalurkan aspirasi dan kebebasan saat itu. Bersama kawan-kawan saya di Madipala itu, saya biasanya ikut mendaki. 

Pertama kali mendaki, bukan tentang puncak yang membuatku berdecak kagum. Bukanlah pula mengenai lebatnya hutan yang tetap terjaga. Tetapi di saat kami bertemu pendaki lain yang sedang istirahat di salah satu pos dan mengajak kami juga singgah beristirahat pula sambil menikmati kopi. Anehnya, walau kami baru pertama kali bertemu, kami terasa sangat akrab. Kami seperti kawan karib. Seperti tak ada batas.

Di selah-selah istirahat itu, mereka membagi makanan yang mereka punya ke kami. Akhirnya apa yang kami punya pun kami bagi ke mereka. Dan semuamya terjadi begitu saja. Kami tak peduli,suku, agama apa dan asalnya darimana mereka. Saya seperti menemukan kemanusiaan yang sejati dari proses itu. Akhirnya saya baru tahu kenapa Gie menyukai naik gunung. Mungkin di sanalah ia belajar kemanusiaan. Mengenali kepedulian kepada sesama tanpa ada pretensi. Di situlah barangkali Gie mengambil inspirasi yang kuat membela kemanusiaan dalam aktivismenya selain dari buku-buku ia baca tentunya.

Sejak kali pertama itu, saya terus mengulang naik gunung dan dari situ pula saya punya niat, kelak jika punya anak, sesekali saya akan mengajaknya ke gunung. Tentu dengan harapan, itu salah satu cara ia bisa dekat dengam "alam bebas" dan mengenal kemanusiaan.

Minggu lalu, niat itu mulai saya tunaikan. Muhammad sudah ikut di acara kemah di puncak. Walau belum kategori gunung yang betul-betul menantang. Tapi Muhammad sangat senang. Ia ingin mengulanginya. Tentu di tempat yang lain. Mungkin sedikit lebih menantang.

Kemarin, di siang yang terik, saat saya sedang beristirahat, tiba-tiba saja Muhammad masuk ke kamar. Ia lalu meminta saya untuk ...


Kemarin, di siang yang terik, saat saya sedang beristirahat, tiba-tiba saja Muhammad masuk ke kamar. Ia lalu meminta saya untuk menemaninya membuat es. Membantunya memasukkan es buatannya ke lemari pendingin (kulkas). Sebelum saya membantunya, saya sempatkan bertanya-tanya. Ini esnya dibuat dari apa dan untuk apa buat es sebanyak itu? 

Ternyata es yang dibuatnya berbahan susu miliknya, lalu dicampur dengan air putih kemudian ditaruh dalam gelas staenlis. Kemudian kata Muhammad, nanti ketika es sudah jadi, ia akan menjual ke teman-temannya. Supaya ia bisa punya uang jajan sendiri. Kalau punya banyak uang bisa belanja apa saja.  

Siang ini, es buatanya sudah jadi. Lalu meminta tolong lagi ke saya untuk dibantu ambilkan es itu dari kulkas. Saya keluarkanlah satu per satu es tersebut dan menaruhnya di atas tempat  yang ia siapkan. Sebelum ia menjual ke teman-temanya, pertama kali es tersebut  ditawarkan ke bundanya dengan harga lima ribu. Bundanya membeli esnya tersebut setelah melalui proses tawar menawar hingga mereka bersepakat dengan harga empat ribu saja. Muhammad menerima uang itu dengan riang gembira. 

Setelah itu, ia mulai menjajalkan es buatannya di depan rumah. Menunggu teman-temanya datang membeli es buatanya yang memang siang hari biasanya ngumpul di rumah. Tak lama kemudian, satu per satu teman-temannya datang. Tapi sayang, teman-temannya tidak punya duit untuk membeli esnya. Walau demikian, es buatannya tetap habis, tapi habis ia bagi-bagi ke teman-temannya...😁

Singkat cerita, setelah es buatannya habis. Ia meminta ke saya untuk dibuatkan gerobak di depan rumah sebagai tempat jualan es. Ternyata ia masih tetap terobsesi jualan es walau hari ini bisa dibilang secara bisnis ia mengalami kerugian..😀😀🤣

Sudah lama Muhammad tak pergi sekolah (TK). Kalau tidak salah hanya beberapa hari saja ia ke sekolahnya. Setelah itu tak minta l...



Sudah lama Muhammad tak pergi sekolah (TK). Kalau tidak salah hanya beberapa hari saja ia ke sekolahnya. Setelah itu tak minta lagi. Jarak sekolah dengan rumah sebenarnya sangat dekat. Sekitar 5 menit naik motor sudah sampai. Jadi jarak bukanlah masalah.

Alasan utama Muhammad tak ingin lagi ke sekolah yakni bosan dan tak ada yang menarik di sekolahnya. Mainan sekolah sangat terbatas begitu pun dengan buku-bukunya. 

Sebenarnya, dia minta dipindahkan sekolah. Dicarikan sekolah yang banyak mainan dan buku-bukunya. Ada satu sekolah di desa tetangga kategori lumayan mainananya. Cuma, buku-bukunya sangat terbatas--sedikit sekali. Selain itu, jaraknya juga cukup jauh.

Tahun depan, Muhammad secara umur sudah waktunya masuk sekolah dasar (SD). Dia sudah menyebut-nyebut tempatnya sekolah. Dia maunya di sekolah itu. Ketika ditanya kenapa di sekolah itu, alasanya sederhana, di sana ada sepupunya yang sudah duluan sekolah yang selalu ia temani (teman karibnya) hampir setiap hari

Kami orang tuanya mendukung saja pilihannya itu. Sekolah itu dekat dengan tempat kerja Bundanya. Dan itu memudahkan kami untuk mengantar jemputnya.

Harapannya, semoga nantinya ia betah di sekolahnya. Tak bosan. Sekolahnya menyenangkan seperti rumah. Guru-gurunya bisa memahaminya. Membuatnya riang gembira dalam belajar.

Wednesday, January 18, 2023

Sudah tiga tahun tiga bulan saya menjadi fasilitator desa. Waktu yang tentu belum cukup lama jika kita bekerja dalam desa dengan...



Sudah tiga tahun tiga bulan saya menjadi fasilitator desa. Waktu yang tentu belum cukup lama jika kita bekerja dalam desa dengan segala kompleksitasnya. Di desa sudah banyak berubah. Dulu, mungkin "patronase" menjadi wajah desa. Dulu, desa sangat tergantung pada sosok yang punya karismatik.

Seperti kata Weber, karisma adalah kekuatan revolusioner serupa dengan "akal" yang bekerja dari luar. Mengingatkan situasi kehidupan dengan masalah-masalahnya. Sosok karisma mampu mencerdaskan individu lain. Mencerahkan dengan lakon hidup yang patut dicontoh. Tokoh karismatik memiliki kekuatan spiritual membaca arah zaman. Sosok karisma tampil menjadi kohesi sosial di desa.

Dulu, individu yang menjadi pemimpin di desa dianggap memiliki kelebihan di atas rata-rata masyarakat desa pada umumnya. Ia memiliki daya magis agar warga menjadi taat, patuh pada nilai-nilai luhur yang ada.

Kini, desa sudah berjalan dengan dinamikanya yang baru. Tentu tak lagi sama dinamika yang lalu-lalu. Tokoh karismatik semakin sulit ditemukan. Para pemimpin kepala desa umumnya tak memiliki kekuatan sebagaimana tokoh karismatik. Kini, pemilihan kepala desa tidak lagi berdasarkan sepenuhnya pada ketokohan dengan kelebihan tertentu (karisma) tapi melalui hitung-hitungan pada bilik suara. Dan, di sana transaksi berjalan dengan apik, halus, sistematis dan massif.

***

Semenjak Undang-Undang Desa lahir, desa diharap bisa menentukan arah masa depannya sendiri secara terukur. Partisipasi desa dalam pembangunan adalah ide-ide yang termaktub dalam undang-undang tersebut. Demokratitasi desa adalah wajah lain dari UU Desa itu. Tapi, kadangkala teori berjalan pada sisi kanan dan praktik pada jalur kiri. UU Desa bukan tanpa risiko. Adanya UU Desa akhirnya mengalir juga dana desa yang cukup besar ke rekening desa. Di sinilah awalnya. Titik inilah celanya.

Dana desa yang cukup besar punya wajah ganda dipraktiknya. Sesarinya ia penunjang dalam melaksanakan ide-ide dalam UU Desa, namun, melahirkan wajah lain. Justru dana desa punya pengaruh pada wajah sosial desa. Perburuan pemimpin di desa menjadi titik dasarnya. Di titik inilah karisma pemimpin tak lagi utama. Calon pemimpin bukan lagi pada modal sosial yang panjang. Tapi pada modal uang yang besar. Konflik kepentingan semakin tinggi. Gesekan masyarakat semakin panas. Sosial desa jadi amburadul. Kohesi sosial jadi retak.

Benar, dana desa tentu punya nilai positif. Sudah ribuan kilometer jalan tani, drainase, rabat beton hadir di desa yang dulunya susah direalisasikan. Susah dikerjakan oleh masyarakat sendiri. Tapi, semua itu,  ada juga yang tidak tepat sasaran. Sisi lain, banyaknya pembangunan infrastruktur fisik di desa pada akhirnya menafikan pembangunan manusia dan budayanya.  Pemberdayaan tidak menjadi prioritas. Ia hanya menjadi pilihan kedua.

***

Sekali lagi, tiga tahun tiga bulan saya menjadi fasilitator di desa, di Kecamatan Bajo Barat Kabupaten Luwu, tentu masih waktu yang singkat. Perubahan pola pikir di kalangan pemerintah desa dan masyarakat bukanlah pekerjaan mudah. Perihal satu ini, saya seperti melihat kura-kura yang berjalan. Sungguh lambat. Namun harapan tetap ada, sebab ia masih terus bergerak.

Saya melihat sedikit demi sedikit program pemberdayaan sudah menjadi alam pikir pemerintah desa. Hal ini dapat saya ceritakan bagaimana desa-desa di lokasi dampingam saya merumuskan kebijakannya. Geliat membangun wisata untuk ekonomi desa kini menjadi rumusan di musyawarah desa bahkan sudah ada desa yang sedang mengerjakannya secara bertahap.

Selain wisata, peningkatan literasi desa menjadi hal lain dari kesadaran pemerintah desa. Literasi hal mendasar dibangun untuk generasi yang lebih baik kedepan. Saya membayangkan jika semua yang direncakanan berjalan maksimal, desa-desa di Bajo Barat akan punya keunikan masing-masing namun tetap terintegrasi satu sama lain.
































Tuesday, August 2, 2022

Baru beberapa hari yang lalu, saya menyelesaikan salah satu karya Albert Camus: The Outsider. Sebuah cerita yang datar. Dengan kehidupan tok...




Baru beberapa hari yang lalu, saya menyelesaikan salah satu karya Albert Camus: The Outsider. Sebuah cerita yang datar. Dengan kehidupan tokohnya yang juga datar namun tindakannya melahirkan amarah banyak orang. Terutama pengadilan. 


Jika tak sabar, mungkin saja saya sudah tidak melanjutkan membacanya. Tapi, sejak awal saya selalu tertarik dengan Albert Camus. Mungkin itu yang membuat saya sabar membacanya. 


The Outsider, bagi saya tak hanya sekadar cerita. Ia menyimpan ledakan pikiran akan seperti apa kita di hadapan kehidupan. Camus, mengurainya dengan menampilkan tokoh Meursault yang "polos". Tokoh yang apa adanya terhadap kehidupan yang dijalaninya.


Meursault seorang pemuda yang sejak kecil ditinggal oleh ayahnya. Ia tumbuh bersama ibunya. Namun di usia senja ibunya, ia menitipkannya di panti jompo. Meursault tak bisa menemani ibunya. Di panti jompo, ibunya bisa punya banyak teman. Punya lawan bicara di mana dirinya tak bisa lakukan pada ibunya. Begitu harapannya ketika ia menitipkan ibunya.


Tapi siapa yang menyangka, berawal dari  semua itu, ketika di suatu hari telegram datang  dari Panti Wreda. Sebuah kabar duka: Ibunya meninggal. Dan akan dimakamkan besok. Di pemakaman ibunya, ia menolak melihat mayatnya. Dan Meursault tak meneteskan air mata setetes pun.


Karena sikapnya itu, ternyata menjadi masalah besar buatnya. Menjadi bagian dari penilaian hakim padanya. Dinilai pembunuhan yang dilakukan Meursault beberapa hari setelah pemakaman ibunya punya hubungan. 


Meursault menembaki orang Arab di sebuah pantai. Kejadian itu bermula dari perkelahian di antara mereka. Orang Arab itu sebenarnya tidak punya masalah dengan Meursault. Tapi, Raymondlah yang berurusan dengannya. Raymond ini adalah sahabat Meursault. Karena perkawanan itu, Meursault terbawa ke lingkaran masalah itu. Ia membunuh musuh sahabatnya.


Di pengadilan, segala tanya datang padanya. Mengapa ia tidak menangis di kala ibunya meninggal? Kenapa ia tidak mau melihat mayat ibunya? Mengapa masih dalam keadaan berduka melakukan hubungan badan dengan kekasihnya: Marie? Mengapa setelah melepaskan tembakan satu kali, sempat berhenti, lalu berikutnya memberondong empat kali tembakan ke tubuh orang Arab itu? 


Semua tanya itu, dijawab oleh Meursault dengan apa adanya. Dengan apa ia rasakan. Tak juga ia berusaha membela diri. Datar saja. Intinya jawaban yang ia berikan betul-betul dari dalam dirinya. Ia tak bisa menangis melihat ibunya meninggal. Buat apa lagi melihat mayat ibunya. Ia alamia saja melakukan hubungan badan dengan kekasihnya. Insting saja untuk melakukan tembakan lima kali karena ia memang merasa marah. 


Tapi semua jawaban apa adanya yang , ia berikan, tak bisa menyelamatkan dirinya dari hukuman mati. Tapi bagi Meursault, di dalam kurungan penjara menanti fajar, ia berkata, mati hari ini akan sama saja dengan mati dua puluh tahun kedepan. 


Di dalam tahanan, pendeta datang untuk memintanya bertobat sebelum kematiannya. Namun, Meursault menolak. Ia tak mempercayai Tuhan. Justru kehadiran pendeta itu menjengkelkannya. Pendeta, juga pengadilan sebelumnya meminta Meursault menyesali kejahatannya. Meursault menolak. Ia menerima semua konsekuensi perbuatannya. Tak harus menyesal.


Menurut Albert Camus, ada yang salah paham terhadap tokoh Meursault yang dibuatnya. Ia mengira tokoh Meursault orang terbuang sebab ia tidak mengikuti semua anjuran. Padahal bagi Camus, Meursault orang yang menolak berdusta. Ia jujur mengatakan yang dirasakan dalam hati manusia. Tak mencoba mengkhianati apa yang ada dalam hati. Semuanya apa adanya. 


Camus melihat Meursault, tokoh yang dibuatnya sebagai orang yang malang dan apa adanya. Orang yang mencintai matahari yang tak meninggalkan bayangan. Jauh dari kekurangan semua sensibilitas. Meski dianggap negatif, tapi ia benar dalam memperjuangkan perasaan dirinya. Ia wujud kemenangan atas diri sendiri. Tentu Camus menawarkan semangat eksistensialis. Merdeka atas diri sendiri. Menanggung secara mandiri segala konsekuensi dari pilihan. Selebihnya tak ada lagi.