Mukadimmah
Pada perkembangan pemikiran tentang manusia melahirkan berbagai cara pandang melihat manusia. Ada yang beranggapan bahwa manusia seperti makhluk lain yang hanya sebatas susunan materi. Perubahan pada manusia tidak terlepas pada perubahan material saja, kehidupan seperti tumbuh, berkembang biak semua itu tidak memiliki relevansi atau kaitanya dengan non material. Pandangan lain melihat manusia tidak hanya pada susunan materil akan tetapi melihat Sesuatu yang subtantif dari manusia yakni bahwa manusia memiliki fitrah yang kecenderungan pada kesempurnaan. Dengan fitrah yang dimiliki pada dirinya sebagai sebuah nilai ke-Ilahiaan ketika di aktualkan akan membawa manusia pada proses transendensi.
Pada diri manusia, sesuatu yang tidak bisa dingkari kecederungan akan hal-hal sifatnya hewani sehingga semestinya manusia berproses dari sisi hewani menuju sisi ke-Ilahian. Karena ketika manusia hanya berhenti pada materil (hewani) maka dengan sendirinya manusia telah meruntuhkan nilai keistimewaannya. Manusia pada kenyataan seperti ini tidak bisa lagi di bedakan dengan makhluk lainnya.
Manusia sebagai penciptaan terakhir dari sekian mahkluk yang telah dciptakan Tuhan, memiliki keistimewaan karena diberi tugas untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Ketika makhluk lain di berikan tugas ini semuanya enggan untuk menerimanya. Keistimewaan manusia pada sisi lain memiliki kebebasan untuk memilih pilihan dari berbagai pilihan yang telah ditetapkan oleh Tuhan yang tentunya dengan barengi konsekuensi dari pilihan tersebut. Akal sebagai salah satu pembeda dengan makhluk yang lain dan merupakan anugerah Tuhan menjadi timbangan dalam setiap perilaku manusia, Kesempurnaan akal yang di miliki manusia meniscayakan manusia tersebut akan sampai pada taraf a’rif dimana kebijaksanaan, keadilan akan menjadi sebuah karakter dalam dirinya. Nilai-nilai Ilahi menjadi wujud dalam tingkah lakunya (Akhlak).
Dalam perjalanan sejarah manusia, pada awalnya adalah ummat yang satu namun karena pertikaian dalam internal manusia yang mengakibatkan kerusakan-kerusakan. Pertikaian yang di akibatkan bergesernya manusia dari fitrahnya yag sebenarnya harus diaktulakan sehingga kedamaian, persaudaraan akan tercipta. Namun, kenyataanya manusia lebih memilih mengaktualkan kebinatangannya.
Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia tentunya tidak mampu untuk membawa manusia itu sendiri pada kedekatan dengan penciptanya sebagai sebuah tujuan dari segala tujuan sehinnga dengan kecintaan Tuhan (Pencipta) pada hambannya untuk menyelesaikan pertikaian itu maka, Tuhan menurunkan solusi dari kalangan manusia itu dengan mengutus manusia pilihan dari kalangan mereka sendiri yang kelak disebut sebagai Nabi, Rasul, atau pemimpin.
Manusia itu adalah ummat yang satu (setelah timbul perselesihan). Maka, Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar, untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihan. (QS. Al-Baqarah; 213)
Kehadiran nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan tentunya bertujuan untuk bagaimana manusia itu kembali utuh sebagai ummat yang satu. Ummat yang penuh dengan kedamaian, persaudaran dan yang terpenting menjadi ummat yang bersama-sama bergerak menuju kedekatan dengan Tuhan.
Nabi dan Rasul Dalam Definisi
Dalam pembahasan kenabian salah satu subtema yang mesti dijelaskan adalah definisi nabi dan rasul. Maksud dan tujuan perlunya untuk memberikan batasan kepada nabi dan rasul agar supaya kita dapat membedakannya dengan yang bukan nabi karena dalam sehari-hari kita ada dua terma yang selalu beriringan yakni nabi dan rasul. Menurut Imam Ali pada dasarnya Nabi itu berjumlah sekitar 124 ribu. Lalu apakah perbedaan nabi dan rasul?. Maka, dari pertanyaan inilah kita mulai mencoba mengurai tentang apa definisi nabi dan Rasul.
Nabi adalah pembawa berita. Nabi adalah seorang yang menerima berita disisi Allah sedangkan Rasul adalah utusan Allah yang memiliki tugas tertentu, baik itu tugas berupa perintah dari Allah untuk menyampaikan Syariat kepada ummat atapun tugas dan tanggung jawab yang lain dari pada itu. Pengetahuan yang selama ini yang berkembang dimasyarakat pada umumnnya membedakan antara nabi dan Rasul. Nabi adalah utusan Tuhan yang tidak membawa ajaran syariat tertentu sedangkan yang dimaksud dengan rasul seorang yang membawa syariat tertentu untuk disampaikan kepada umat pada hal menurut Al-Quran yang membawa syariat biasa disebut nabi dan yang tidak membawa syariat biasa disebut dengan rasul.
Pada dasarnya antara nabi dan rasul tidaklah memiliki perbedaan. Semua nabi adalah rasul akan tetapi tidak semua rasul adalah nabi. Dalam Al-Quran Malaikat tertentu juga disebut sebagai rasul seperti misalnya malaikat jibril.
“Sesungguhya Al-Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril).” (QS. At-Takwir: 19)
Bukti lain dalam Al-Quran bahwa rasul (utusan) tidak hanya dari kalangan nabi akan tetapi juga berasal dari kalangan selain nabi. Kata Ba’ts dalam Al-Quran yang berarti (pengutusan) terdapat dalam satu ayat, dimana ayat tersebut di khususkan kaum tertentu yang diberi kekuatan oleh Tuhan untuk memerangi kaum yahudi yang congkak.
“Maka apabila datang saat hukuman bagi kejahatan pertama dari kedua kejahatan itu, kami utus (ba’atsna) kepadamu hamba-hamba kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung dan itulah ketetapan yang pasti” (QS. al-Isra: 5)
Nabi dan rasul dua karakter yang mewujud dalam diri seseorang yang pada dasarnya tidak terpisahkan. Antara nabi dn rasul sama-sama utusan Tuhan dan juga sama-sama memiliki peran dan tanggungjawab (Tugas).
- umunnya akan tetapi bukan berarti nabi begitu saja meninggalkan syariat atau perintah Tuhan seperti shalat, puasa dan lain sebagainya. Nabi juga pada dasarnya tetap bekerja untuk memberi nafkah pada keluargaanya.
- Dalam perjalanan kenabian guna menyampaikan risalah Tuhan serta membangun manusia agar kembali kepada fitrahnya bukan berarti tanpa sebuah perjuangan serta konflik. Nabi selalu mengahadapi hambatan, rintangan dari orang yang menentangnya.
- Tentunya yang paling mudah untuk mengidentifikasi kenabian maka pastinya para nabi membawa risalah (syariat) Tuhan atau penyebar risalah yang sudah ada.
Tujuan Pengutusan Nabi
Utusan Tuhan (Para Nabi) hampir ada di tiap zaman akan tetapi ironisnya kehadirannya selalu dianggap sebagai orang hina dan bodoh dimata ummatnya. Mengapa demikian? Karena para nabi selalu ingin megembalikan manusia kepada fitrahnya memperingatinya agar kembali kepada kecenderungan untuk kepada kebenaran dan kebaikan guna mengajak manusia menuju kesempurnaanya.
“Manusia itu adalah ummat yang satu. (setelah timbul perselisihan). Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar dan pemberi peringatan” (QS. Al-Baqarah: 213)
Dari gambaran Surah Al-Baqarah di atas bahwa pada awalnya manusia itu bersatu namun di kemudian hari terjadi perselisihan, mengapa perselisihan itu terjadi?. Menurut Murtadha Mutahhari karena diantara manusia mulai ingin memanfaatkan kenikmatan dunia hanya untuk diri mereka sendiri. Jelas, sebagian akan menjadi kuat (serakah) dan akan memiliki kenikmatan yang banyak sedangkan sebagian yang lain adalah lemah dan berada dalam kemiskinan. Masyarakat akhirnya nampak dalam dua bentuk yakni manusia yang berada level atas dan yang berada pada level bawah atau dalam bahasa Karl Marx masyarakat borjuis dan Proletar.
Perbudakan atas manusia yang satu terhadap manusia yang lain menjadi sebuah tontonan dalam masyarakat seperti ini. Maka, konflik atau perselisihan akan muncul dalam masyarakat yang selalu terulang sepanjang sejarah. Namun pada konteks masyarakat dimana perbudakan, perampasan hak-hak atas kaum yang lemah oleh yang kuat dalam sejarah manusia merupakan penyebab perselisihan di sana selalu pula muncul manusia-manusia pilihan (nabi) yang semestinya menjadi pelajaran bagi kita semua. Muthahhari mengurai dari sudut pandang tujuan kenabian bahwa, nabi adalah dualis dengan kata lain tujuan nabi ada dua. Yang pertama menyangkut kehidupan akhirat bagaimana manusia mengalami kesuksesan di akhirat yang kedua menyangkut kesuksesan di dunia (Tauhid sosial) guna mewujudkan kesejahteraan ummat manusia di dunia ini dan ini merupakan tujuan pokok kenabian karena melalui jalan inilah manusia dapat mendekat disisi Tuhan.
Para nabi dengan aplikasi Tauhid menjadi Tauhid sosial tampil sebagai pembebas terhadap mereka yang terampas haknya. Mereka (manusia Pilihan/Para Nabi) memasukkan kebahagiaan dalam hati orang-orang yang tertindas, menghibur mereka dengan mengajak untuk berani berkata “Tidak” kepada penidasan yang mereka alami dan berupaya memberikan kesadaran kepada penindas dengan perlawanan agar sadar akan perbuatannya sebagai penindas. Jadi bentuk pembebasan para nabi tidak hanya membebaskan kaum tertindas akan tetapi juga membebaskan para penindas. Tertindas dibebaskan dari ketertindasannya sedangkan para penindas dibebaskan dari sikap penindasnya.
Kenabian Terakhir
Pada pembahasan ini saya ingin mengutip Al-Quran terkait dengan kenabian terakhir:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi-nabi.” (QS. Al-Ahzab: 40)
Khatamun nabiyyin atau penutup para nabi disini perlu untuk diurai. Sungguh kita akan mempertanyakan keadilan Tuhan jikalau di masa-masa sebelumnya saja ada nabi. Pada dasarnya semua manusia memiliki potensi kenabian sehingga siapaun bisa menjadi nabi. Untuk lebih memudah memahami kenabian itu terbagi menjadi dua. Yang pertama nabi sebagai utusan serta pembawa berita yakni nabi yang telah ditunjuk oleh Tuhan (Kenabian Tablig). Yang kedua adalah nabi sebagai derajat ketaqwaan, kemuliaan, kedekatan dengan Tuhan (Kedudukan Spiritual).
Nabi sebagai tablig pada dasarnya inilah kenabian yang berakhir yang dimaksud khatamun Nabiyyin (penutup para nabi dan rasul) akan tetapi kenabian sebagai kedudukan spiritual tidak akan pernah berakhir. Penyebab keberakhiran kenabian tablig salah satunya dalah karena perkembangan inteletual-rasional manusia pada zaman ini mencapai kesempurnaan disbanding pada masa sebelumnya.
Keberakhiran kenabian tablig meniscayakan keberakhiran risalah (wahyu) jadi setelah Rasulullah tidak ada lagi nabi dan rasul yang membawa syariat akan tetapi penyebar risalah kenabian tetap akan ada namun penyebar risalah kenabian ini harus memiliki derajat seperti derajat kenabian guna ajaran yang dibawa oleh nabi tidak mengalami sebuah distorsi. Mengenai hal ini selanjutnya akan dibahas dalam pembahasan kepimpinan karena ini terkait siapa sepantasnya menjadi pelanjut Rasulullah SAAW untuk memimpin ummat islam. Dan karakter apa yang mesti dimiliki sebagai kategori pelanjut Rasulullah sebagai pemimpin keagamaan (spiritual) dan pemimpin sosial.
Pemimpin (Imam) dalam Definisi
Pemimpin (Imam) berarti orang didepan, kata “Imam”(Pemimpin) dalam Al-Quran memiliki arti kesucian hidup. Imam adalah orang yang punya pengikut. Dalam pembahasan kepimimpinan atau (Imamah) terjadi pula perbedaan pendapat. Keduanya sama-sama mengakui mestinya ada pemimpin setelah sepeninggal Rasulullah SAW. Namun perbedaan keduanya terletak pada cara pandang terhadap pemimpin. Pendapat yang satu mengatakan bahwa pemimpin dalam islam di tentukan oleh ummat (musyawarah) sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa kepemimpinan dalam Islam haruslah berdasarkan titah dari Tuhan atau yang ditunjuk oleh Tuhan dan dipertegas melalui nabinya.
Argumentasi bahwa kepimpinan sepeninggal Rasulullah dipilih oleh ummat karena pada dasarnya bahwa Tuhan dan Rasulullah tidak mentitahkan atau menunjuk langsung pemimpin. Jadi yang mengambil peran penting dalam pemilihan pemimpin adalah ummat. Maka, dapat dilihat setelah Rasulullah wafat jika kita membaca sejarah maka pemilihan kepimpinan ada di tangan ummat.
Kemestian Hadirnya Pemimpin
“Kami tunjuk sebagai imam yang memberikan panduan dengan izin kami” (QS. al- Anbiya; 73)
Berakhirnya kenabian akan mempersulit manusia selanjutnya untuk menuju Tuhan. Al-Quran dan hadist serta agama dengan syariat telah turunkanya sebagai penuntun. Al-Quran dan Hadis sebagai petunjuk tentunya tidak cukup karena kita manusia biasa mengalami keterbatasan dalam memahami Al-Quran dan hadist sebagaimana Al-Quran dan hadist itu sendiri jikalau tidak memiliki pemandu untuk memahaminya. Kemestian kehadiran kepimpinan dalam hal ini pemimpin agama dan sosial adalah guna untuk menuntun manusia untuk memahami Al-Quran dan hadist serta agama yang otentik.
Ciri Pemimpin
Ciri atau karateristik yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin tentunya tidak jauh beda dengan karakteristik nabi hal ini tidak terlepas dari posisi pemimpin sebagai penerus kenabiaan. Pemimpin sebagai penerus kenabian yang bertugas untuk memandu manusia menuju Tuhan serta membangun masyarakat agar mampu mencapai tara hidup yang sejahterah. Sebagai pemandu keagamaan sepeninggal Rasulullah tentunya pemimpin tersebut memiliki kemampuan untuk menjelaskan Agama sebagaimana Rasulullah menjelaskan Agama. Pemimpin haruslah pula terjaga dan terbebas dari dosa dan kesalahan (Manusia Sempurna) ini tidak terlepas dari kesempurnaan agama. Bukankah agama itu sempurna? Kesempurnaan Agama memestikan pula untuk ditafsirkan oleh manusia sempurna guna menghindari dari kesalahan dalam mengajarkan Agama.
Tujuan Kepemimpinan
Pembahasan ini saya akan mengutip Hegel seorang filosof Idealis yang berasal dari Jerman. Dia berkata demikian “Sejarah menunjukkan bahwa manusia tidak pernah belajar dari sejarah” . Sejarah manusia terus berulang dari kesalahan manusia. Namun disisi lain dari sejarah yang terus berulang dengan pola-pola yang berbeda akan tetapi prosesnya tetap meenggambarkan perilaku kesalahan manusia, Tuhan selalu mengutus dari kalam manusia sendiri menjadi wakilnya untuk memberikan peringatan dari kesalahan-kesalahan itu.
Pemerasan dan penindasan masih terus berlanjut sepeninggal Rasulullah maka dalam kondisi seperti ini peran seorang pemimpin sangat dibutuhkan. Membebaskan manusia dari perbudakan manusia atas manusia yang lain itulah salah satu tugas dari seorang pemimpin. Disisi lain tugas kemimpinan adalah mengangkat menuju kedekatan dengan Tuhan. Pada hakikatnya tujuan kepemimpinan adalah melanjutkan tujuan kenabiaan.
Sumber Bacaan:
Dr. Ali Shariati: Tugas Cendikawan Muslim, Rajawali; 1984
Pemimpin Mustadh’afin, Muthahhari Paperbacks; 2001
Ideologi Kaum Intelektual, Mizan; 1993
Murthada Muthahhari; Manusia dan Alam Semesta, Lentera; 2002
Falsafa Kenabian, Pustaka Hidaya; 1991
Kenabian Terakhir, Lentera; 2001
Michel chodkiewicz: Konsep Ib’nu Arabi Tentang Kenabian dan Aulia. Srigungting; 2002